Oleh: Firman Yusi | 16 September 2010

Catatan Kritis Tragedi Kinarum (Bag. 1)

Tragedi dengan menelan korban terbesar dalam sejarah pariwisata di Kabupaten Tabalong terjadi Sabtu (11/09/2010) lalu.  Banjir bandang melanda obyek wisata yang terletak di Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong yang berjarak sekitar 50 km dari Kota Tanjung atau sekitar 300 km dari Kota Banjarmasin.  Obyek wisata Riam (sungai dengan batu-batu besar) setiap liburan ramai dikunjungi wisatawan domestik.

Tragedi ini menelan 7 korban jiwa (6 korban perempuan dan 1 korban laki-laki). Tragedi yang sudah pasti menimbulkan duka mendalam, khususnya dikalangan sanak keluarga dan teman serta sahabat dari korban yang rata-rata masih berusia belia (dibawah 20 tahun).

Saya ingin berbagi beberapa catatan kritis tentang tragedi di hari kedua Idul Fitri 1431 H yang menjadi perhatian publik belakangan ini, tidak hanya di Kabupaten Tabalong, akan tetapi juga hampir diseantero negeri ini.

  1. Penanganan Bencana Minus Crisis Center

Salah satu yang ingin saya soroti dalam catatan ini adalah penanganan bencana yang masih terkesan “kalang kabut”.  Meski bencana datang selalu “diluar rencana” akan tetapi penanganannya sudah harus terencana dan sistematis sehingga tidak menimbulkan “kekacauan kecil” disana-sini.  Salah satu kelemahan penanganan bencana ini adalah ketiadaan apa yang saya sebut dengan “Crisis Center” yang menjadi Pusat Kendali Operasi Penanganan Bencana sekaligus sebagai Pusat Informasi Bencana.

Meskipun Wakil Bupati Tabalong, H. Muchlis, SH berkomitemen kuat untuk terjun ke lapangan, mengatur kendali operasi penanganan bencana di lapangan, khususnya dalam proses pencarian dan evakuasi korban yang memakan waktu 2 hari 2 malam, akan tetapi kekisruhan informasi tentang penanganan hal tersebut tetap menjadi sesuatu yang menggelisahkan.  Bayangkan saja, beberapa TV nasional yang memberitakan tragedi ini menyampaikan informasi yang berbeda-beda, ada yang menyampaikan kepada publik bahwa korban nyawa mencapai 10 orang dan korban hilang yang berjumlah puluhan, ada pula yang menginformasikan kalau ada 27 jiwa melayang dan belasan lainnya masih dicari, padahal di lapangan, berdasarkan catatan pengaduan orang hilang pada hari ke-2 pencarian tercatat 4 korban tewas yg berhasil ditemukan, 2 korban luka ringan dan 5 korban hilang, itupun 2 diantara 5 korban hilang diketahui kemudian dalam kondisi sehat wal afiat karena tidak berada di lokasi musibah.

Itupun pada hari pertama terjadinya bencana sempat terjadi kesimpangsiuran jumlah korban sesungguhnya mengingat tidak adanya informasi valid jumlah korban sesungguhnya, bahkan kebingungan ini dialami oleh Tim Pencari (Gabungan beberapa lembaga sosial dan pemerintah). Bahkan sampai korban ke-7 dievakuasi, distribusi informasipun masih berantakan, sebab bagi beberapa posko lapangan, korban ke-7 adalah korban terakhir, tapi bagi posko lainnya masih ada korban lain lagi yang harus dicari.

Crisis Center yang saya maksud sangat berbeda dengan posko lapangan.  Ketika gagasan ini saya sodorkan kepada pengambil kebijakan, bagi mereka Crisis Center adalah posko di lapangan.  Bagi saya sekali lagi Crisis Center adalah pusat kendali operasi penanganan bencana, semua informasi dari lapangan diolah di Crisis Center untuk diambil keputusan segera, termasuk informasi-informasi tentang kebutuhan tim lapangan, apakah itu menyangkut logistik maupun perlengkapan penyelamatan.  Crisis Center yang berkewajiban untuk meminta back up institusi lainnya dengan peralatan yang dimilikinya bagi petugas lapangan.

Crisis Center juga menjadi sumber informasi satu-satunya, baik bagi media massa, masyarakat umum atau keluarga korban tentang proses penanganan bencana sehingga tidak menimbulkan kesimpangsuran informasi.  Juga menjadi pintu masuk bagi informasi-informasi menyangkut dugaan adanya korban, dari laporan orang hilang, untuk menginformasikan kepada petugas lapangan tentang jumlah sebenarnya korban yang jatuh akibat musibah ini.

Posisi Crisis Center tidak berada di lapangan, akan tetapi di Pusat Pemerintahan, terbentuk secara otomatis dengan personil-personil yang sudah ditunjuk sebelumnya, sehingga begitu terjadi bencana atau musibah, Crisis Center sudah langsung siap mengolah informasi terkait kejadian tersebut dan mengambil semua langkah yang dirasa perlu untuk meminimalkan korban.  Meskipun demikianm Crisis Center harus mempunyai sistem komunikasi yang kuat dengan posko-posko yang dibentuk di lapangan sehingga semua keputusan/kebijakan yang diambil di Crisis Center dapat langsung diaplikasikan petugas lapangan.

Keberadaan Crisis Center permanen, dengan anggota yang didasarkan pada jabatannya, bukan keanggotaan individual, sehingga menutup peluang terjadinya kekosongan keanggotaan Crisis Center tersebut dengan melibatkan stakeholders yang cukup luas dan mewakili institusi terkait seperti Pemerintah Daerah, Kepolisian, TNI, Badan SAR dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam penanganan bencana.  Crisis Center juga mengatur peran masing-masing pihak dalam penanganan bencana, mendistribusikan tanggung jawab secara lengkap. Misal siapa yang bertanggung jawab dalam hal logistik, dapur umum, mengkoordinir relawan pencari dan penolong termasuk penjadwalan (shif) penugasan dan strategi lapangan dan lain sebagainya, sehingga semua stakeholder itu dapat diberdayakan secara optimal.


Tanggapan

  1. PPerlunya Perda pengelolaan tempat wisata melalui SAFETY PROSEDURE…

  2. Banyak hikmah / pelajaran yg bisa ditarik dari kejadian ini al :
    * Penanganan Keadaan Tanggap Darurat belum maksimal dilakukan, pembuatan Papan Informasi / Pengumuman, Kondisian Keadaan Bahaya dll..
    * Momentum yg bagus bagi Pemda Khususnya, dalam hal ini Dinas Sosial & Pariwisata untuk lebih Profesional mengelola Objek Wisata Kinarum, Dengan melakukan / menambahkan segala kekurangan persyaratan agar Objek ini dapat dinikmati lebih aman dan nyaman. Dengan kejadian kemarin jg, Lokasi Objek Wisata ini Kinarum – Tabalong makin dikenal baik skala Lokal, Nasional bahkan Regional / Dunia Luar dengan pemberitaan di Media..

    Semoga Banua kita makin Maju & Berkembang Insya Allah..

  3. Apa yang disampaikan Sdr Firman Yusi mengenai keharusan adanya “crisis center” adalah mutlak adanya dalam suatu pemerintahan. Jangankan di lembaga pemerintah, institusi swastapun harus memilikinya. Biasanya guidance-nya adalah “emergency response plant” yang menjadi SOP (“standart Operating Procedure”) dimana salahnya prosedurenya membentuk crisis center jika terjadi suatu bencana atau bahaya. Fungsinya sudah sangat jelas dipaparkan dalam tulisan Sdr Firman diatas. Untuk didaerah yang menjadi Top Command biasanya adalah pimpinan daerah atau dalam hal ini bisa direpresentasikan oleh Wabup dengan anggota dari Instansi yang berkompeten dan LSM serta stakeholder lainnya.
    Sudah saatnya kita dalam bertindak selalu mencerminkan sikap profesionalisme dan tidak gegabah serta panik dalam menghadapi segala bencana atau bahaya.

  4. Turut berduka cita…

  5. Saya sependapat dengan apa yang disampaikan Mas Firman, bahwa “crisis center” sangat diperlukan dan mutlak adanya. “Crisis center” merupakan pusat komando dalam menghadapi kondisi bencana maupun bahaya. Dalam membentuk “crisis center” guidance-nya adalah “emergency response plan” sebagai SOP-nya serta memuat struktur organisasi dari “crisis center”. Biasanya bupati atau wabup menjadi top command dan dibantu oleh instansi yang berkompeten serta LSM.

  6. sependapat dgn gagasan bang pirman,,,,kalo gak salah tounnya kira2 taun 2000 saya dan teman2 dari kotabaru dan kalua pernah berkemah di samping air terjun kinarum selama 1minggu.pd thn tsb menuju ke air terjun tsb hrus mulalui ank sungainya,,,dan batu2 tajam yang bsr2,entah sekarang gimana jlan menuju ke air terjun nya tsb,tp kalo menurut saya,kinarum perlu tuk di perbaki,,,dari aspes ke amananya yang terpenting

  7. walaupun aq udah pulang k banjarmasin…. aq turut berduka cita atas musibah yang terjadi d kinarum…

    mungkin itu juga peringatan….!!!
    soal na d kinarum sering kali menjadi tempat mesum buat para ABG d sana….

  8. sebenarnya aku tidak tahu tentang kejadiannya secara terperinci, akan tetapi mnurutku akankah lebih baik kalau adanya alat peringatan bencana,,,,,
    mungkin di bagian atas di pasang alat yg akan mngeluarkan sirine kalau deebit air tiba2 naik atau smacamnya,,, mngingat itu adalah tempa rekreasi,,,,

    yg terpenting
    “STOP EKSPLOITASI HUTAN !!!”

    slam knal 🙂
    fb; sisfisika@yahoo.com

    hohoho

  9. sudah seharus nya kita waspada pada alam ini, itu dikarenakan alam tidak persahabat lagi pada kita karena ulah kita sendiri. dari kejadian ini kita bisa berbenah diri…. dengan menerapkan beberapa prosedur keselamatan atau SOPP (standart oprasional prosedur penyalamatan) ini udah banyak dilakukan diberbagai daerah….. sehingga informasi tentang bencana tidak simpang siur terus penanganan terhadap korban jadi lebih cepat.

  10. Sebagai orang tua, melihat cuplikan tanggapan generasi muda cukup berbobot, kami yang tua- tua hanya menyarankan bak pepatah : ” Sedia payung sebelum hujan, atau jangan patah tumbuh hilang berganti “. Hendaknya ” :” Sebelum patah sudah tumbuh, sebelum hilang sudah berganti “. TK. Mahadi Supian – Simpang 4 Mr. Pudak

  11. […] The busiest day of the year was September 16th with 91 views. The most popular post that day was Catatan Kritis Tragedi Kinarum (Bag. 1). […]


Tinggalkan Balasan ke Mahadi Supian Batalkan balasan

Kategori