Oleh: Firman Yusi | 5 Januari 2015

JUST TANJUNG

Tulisan ini diawali dari seringnya saya ditanya, ketika sedang berkegiatan di luar daerah, mengikuti seminar, workshop atau apapun namanya.  Sebagai pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat yang bekerja dengan jejaring, kegiatan seperti itu memang lumrah adanya.  Pertanyaan tersebut adalah, “Asal anda dari mana?” demikian bunyinya, entah hanya sekedar basa-basi atau karena memang ingin mengenal lebih jauh latar belakang saya sebagai kawan bicara.

Saya lahir di sebuah kota kecil di ujung utara Kalimantan Selatan, merupakan ibukota dari Kabupaten Tabalong, kabupaten yang resmi berdiri 1 Januari 1965 setelah memisahkan diri dari Kabupaten Hulu Sungai Utara.  Nama kota ini adalah Tanjung, entah mengapa dinamai demikian, tak banyak dokumen atau bahkan tutur yang menjelaskan asal-muasal kota ini diberi nama demikian.  Jika melongok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita bisa menemukan beberapa kata Tanjung dengan makna yang berbeda-beda.  Tanjung diterjemahkan sebagai tanah (ujung) atau pegunungan yang menganjur ke laut (ke danau), Tanjung juga adalah nama pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau harum, biasa dipakai untuk hiasan sanggul.  Tanjung juga ternyata sebutan untuk tumbuhan sejenis paku yang tumbuh di rawa-rawa (Diplazium esculentum), Tanjung adalah bintang perak atau emas tanda pangkat (disematkan pada epolet atau leher baju). Tanjung juga ternyata adalah nama suku di Sumatera Barat.

Saya juga tak ingin berspekulasi menyimpulkan bahwa nama kota ini diambil dari nama kerajaan yang konon dulu di antara abad ke-5 dan ke-6 berdiri disekitar kota ini, Kerajaan Tanjung Puri yang sekarang diabadikan dengan ikon kota ini, Monumen Tanjung Puri-nya.  Atau karena Empu Prapanca, dalam kitab Negarakertagama menyebutkan adanya Nusa Tanjung Negara atau Pulau Hujung Tanah untuk daerah-daerah disekitar Sungai Nagara, Batang Tabalong, Sungai Barito dan sekitarnya.  Padahal jika menilik salah satu pengertian Tanjung di Kamus Besar Bahasa Indonesia tadi, Tanjung itu adalah tanah (ujung) atau pegunungan yang menganjur ke laut, sangat identik dengan sebutan Pulau Hujung Tanah dalam tulisan Empu Prapanca. Sekali lagi saya tak ingin berspekulasi, sebab saya bukan ahli sejarah yang memiliki kapasitas untuk menyimpulkan seperti itu.

Tapi kalau menduga-duga, boleh jadi selain karena dua hal diatas, Tanjung diambil pula dari pengertian lain tadi, yaitu sejenis tanaman pakis/paku yang tumbuh di rawa-rawa (Diplazium esculentum), sebab ketika saya cari jenis tanaman yang nama ilmiahnya disebutkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka ketika menemukannya saya langsung terkenang-kenang masa kecil saya di Ujung Murung.

Dulu, waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sepulang sekolah, sering saya berlari-lari kecil, tanpa baju, tanpa alas kaki, hanya bercelana pendek ke daerah sekitar pinggiran Sungai Tabalong.  Disana saya memetik sejenis pakis/paku yang bisa dikonsumsi sebagai sayur, masa itu saya sangat suka sayur jenis ini yang tumbuh liar di merata pinggiran sungai, di kawasan-kawasan agak teduh dan lembab.  Boleh jadi nama Tanjung juga diambil dari pengertian ini, dimana di daerah ini ditemukan banyak tanaman jenis tersebut.

Fakta yang mungkin bisa menguatkan argumen ini boleh jadi adalah adanya desa-desa atau lokasi lain di Tabalong atau di Kalimantan Selatan yang menggunakan nama flora dan fauna yang ada di sana.  Ambil contoh saja Haruai yang diambil dari nama burung sejenis merak namun warnanya dominan coklat dengan corak putih, abu-abu dan hitam, penduduk lokal menyebutnya Jui.  Bulu burung inilah yang sering kita dapati bertengger di kepala orang-orang Dayak. Atau ada daerah yang namanya Mungkur Palawan (Palawan adalah sejenis kayu hutan, ada yang berwarna merah, ada pula yang berwarna putih), Mungkur Halaban (juga nama kayu), Binjai, Sungkai dan lain-lain.

Di Indonesia, cukup banyak daerah dengan nama Tanjung, akan tetapi selalu diikuti dengan kata-kata lain yang menjadi pembedanya.  Contoh saja ada Tanjung Puting, Tanjung Redeb, Tanjung Karang, Tanjung Selor, Tanjung Pandan dan lain sebagainya.  Karenanya setiap kali menjawab daerah asal saya adalah Tanjung, maka senantiasa diiringi dengan pertanyaan tambahan, “Tanjung mana, ya?” untuk menegaskan kemungkinan saya berasal dari salah satu Tanjung tersebut.  Agak susah memang menjelaskan ketika kata Tanjung yang ditemukan di semerata-rata Indonesia selalu diikuti kata lain yang berasosiasi dengannya, seakan-akan kata Tanjung adalah kata tak lengkap yang harus dimajemuki dengan kata lainnya.

Karena itu pula mungkin Kota Tanjung menjadi kota yang “kurang populer” di Indonesia, tak sepopuler Tanjung-Tanjung lainnya.  Padahal kota ini, menurut hemat saya, salah satu kota yang penting artinya bagi perkembangan/pertumbuhan daerah Kalimantan Selatan.  Sejak tahun 1898 bahkan sekitar kota ini telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sekitarnya dengan keberadaan sumur-sumur minyaknya, jaman itu masih di eksploitasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui sebuah perusahaan bernama Minj Bouw Maatschpij Martapoera, perusahaan ini berakhir masa kontraknya tahun 1912 yang kemudian sumur minyak lapangan Tanjung beralih pengelolaannya oleh Dotsche Petroleum Maatschpij hingga awal tahun 1930-an.  Eksploitasi minyak bumi ini berlangsung hingga sekarang, bahkan sekarang sudah berkembang lagi dengan temuan lainnya berupa landang-ladang gas bumi yang telah siap di eksploitasi.

Tak hanya minyak bumi, sekarang pertumbuhan kota ini cukup pesat dengan perkembangan pertambangan batubara disekitarnya.  Tak kurang dari 50 juta ton batubara setiap tahun dikeruk oleh sebuah perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Tabalong dan Balangan serta melintasi beberapa kabupaten lainnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.  Lebih dari 20 ribu orang bekerja di sektor ini baik langsung maupun tidak langsung.  Kota Tanjung terimbas dengan keberadaannya, ekonomi riil-nya menanjak, usaha kecil dan menengah berkembang seiring makin meningkatnya daya beli masyarakatnya.  Disisi lain, arus urbanisasi meningkat tajam, tak hanya datang dari pedesaan disekitarnya, kaum urban datang dari berbagai daerah di Indonesia untuk turut serta mengecap pertumbuhan itu, jadilah Kota Tanjung sebagai kota heterogen, tempat hidup manusia dengan berbagai latar belakang budaya dan agama.

Itulah kota saya, kota tempat saya dilahirkan dan saya tinggali hingga sekarang.  Tulisan ini ingin menjawab bahwa meski kota saya, kota kami ini, hanya bernama “Tanjung” sebenarnya dia telah melewati perjalanan sejarah yang cukup panjang, keberadaaanya penting tak hanya bagi daerah ini sendiri, tapi juga bagi daerah-daerah lain disekitarnya.  Kota yang kaya keberagaman, dimana antar suku, agama, ras dan golongan bisa hidup berdampingan sejak dahulu kala. Saya bangga menyebutnya : JUSTANJUNG!


Tanggapan

  1. Betul sekali pak Firman…. saya juga mengalaminya dan bikin sebel, kesel serta miris. Terlalu banyak Kota Tanjung, padahal kota kita Tanjung doang! “JUSTANJUNG”.
    Akhirnya kalau udah habis cara kasih tau, saya suruh cari di mbah google dgn nick name “Tabalong Kalsel”.
    Syukurlah ada ikon baru kota Tanjung “JUSTANJUNG”


Tinggalkan komentar

Kategori