Oleh: Firman Yusi | 6 April 2010

Ekologi dan Krisis Kapitalisme

Kali ini koleksi buku yang ingin saya ulas adalah Ekologi dan Krisis Kapitalisme.  Buku yang merupakan terjemahan ini berukuran 12,5 x 19,5 cm dengan total 234 halaman, diterbitkan oleh Insist Press, Yogyakarta. Edisi pertama dengan Bahasa Indonesia terbit tahun 2002.

Buku ini sendiri sebenarnya ditulis sekitar tahun 1973, namun tema yang diangkat masih cukup relevan dengan apa yang terjadi sekarang, mengingat buku ini menghubungkan antara kapitalisme dan ekologi.  Saya tertarik menuliskannya karena sangat terkait dengan kondisi daerah kita yang kaya dengan sumber daya alam sehingga mengundang kapitalis dengan ideologinya menusuk masuk ke pola pikir masyarakat kita yang sebelumnya sangat arif dengan kondisi alam.

Apakah kapitalisme itu? Buku ini tidak hanya menjelaskan konsep kapitalisme, tetapi juga mengungkapkan secara tajam ramalan-ramalan kritis tentang masa depan ekologi dan lingkungan dibawah cengkraman kapitalisme.  Logika profit yang dibangun sistem kapitalisme telah menyebabkan kegiatan produksi hanya demi kepentingan produksi itu sendiri, menginginkan pertumbuhan hanya demi pertumbuhan itu sendiri, memboroskan sumber daya-sumber daya alam yang tak dapat digantikan, bahkan kapitalisme telah merampok planet ini secara kejam.

Tampaknya kita semakin kehabisan cara untuk menahan kerakusan kapitalisme yang mengeksploitasi lingkungan beserta isinya.  Apalagi pembangunan yang berideologi kapitalistik telah menghalalkan segala cara dengan merusak lingkungan demi keuntungan yang harus terus-menerus didapat.  Lewat buku ini kita disajikan serangkaian analisis yang tajam dan mendalam mengenai bagaimana lingkungan telah dieksploitasi secara berlebihan dan sistematis yang pada titik tertentu akan menghantarkannya ke ambang kehancurannya.

Buku ini sangat relevan dengan apa yang tengah terjadi di Tabalong sekarang, dimana sumber daya alamnya tengah dieksploitasi secara besar-besaran dengan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan masyarakat, padahal dibalik itu, tak sedikit “anak banua” yang ketar-ketir tentang masa depan daerah ini.  Pemikiran bahwa “Pasti ada jalan setelah ini, setelah sumber daya alam habis untuk kita bertahan secara ekonomi” adalah pemahaman kapitalisme yang selalu “mencoba percaya” bahwa teknologi dimasa yang akan datang akan mampu memberi alternatif bagi kondisi krisi ekologi dan sumber daya alam yang akan terjadi di bumi.  Padahal kita semua tahu bahwa teknologi pun bergantung pada kekuatan sumber daya alam yang tersedia dan terjaga.

Lewat resensi atas buku ini, saya ingin menggugah hati semua kita, bahwa kita sedang dalam proses melakukan “bunuh diri massal” dengan perlahan-lahan membunuh bumi, rumah kita satu-satunya.  Eksploitasi besar-besaran hanya menghasilkan terganggunya keseimbangan alam yang menimbulkan banyak dampak yang kembali kepada manusia lagi menerima akibat perbuatannya sendiri.

Ayo lestarikan alam, bergandeng bersama untuk menghambat lajunya penghancuran bumi oleh kapitalisme yang memiliki daya rusak lebih kuat dibanding seratus hulu ledak nuklir bagi kehidupan kita semua. Go Green.


Tanggapan

  1. Waahh….
    Buku itu bagus sekali kalo dibaca oleh para pemimpin kita, kalo perlu masyarakat bawah/grass root juga membaca, agar pikiran kita semua terbuka bahwa selama ini kita hanya diperbudak oleh “kapitalisme”. Terlebih lagi, hubungannya dengan ekologi/sumber daya alam yang ada di Tabalong. Wah..wah.. Ayo buka mata, buka hati… Jangan tergiur dengan pekerjaan tambah yang gaji’nya lumayan fantastis, tapi… pikirkan juga, apa yang akan kita wariskan untuk anak dan cucu kita kelak. Buku ini bagus lho tuk kita renungkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan maupun berbuat… Semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya, Amien….

    • benar, mas Imam. Resensi ini memang dikhususkan memberi sedikit pencerahan kepada kita semua, masyarakat Tabalong, akan ancaman ideologi kapitalis yang sedang mengancam bumi kita.
      Mungkin suatu saat, ketika saya dengan cita-cita perpustakaan komunitas sudah bisa tercapai, perlahan-lahan kita akan berbagi pengetahuan dengan masyarakat lainnya tentang banyak hal. Tks atas kunjungannya.

  2. Saya sangat mendukung kehadiran buku itu.., bagaimana memberdayakan masyarakat…, dan upaya menekan perselingkuhan antara Penguasa & Pengusaha yg marak terjadi, mengorbankan masa depan anak cucu kita ….Selamat & selalu sukses Sdr Firman..!!

  3. rancak jua mendangar..
    di tingkat kementerian lingkungan hidup selalu melakukan penelitian, upaya2 penciptaan baru pengganti migas yg ramah lingkungan, jg sdh dikoordiknasikan ke dept. ESDM, krn sadar bhw SDA yg terbatas pd kurun waktu tertentu akn habis, apalagi klo di eksploitasi yg semakin besar mempercepat SDA tsb habis..

    • Bang sufian, sayangnya penelitian itu cenderung menyiapkan untuk kondisi sumber daya alamnya sudah habis, buktinya sekarang tidak ada langkah mengurangi produksi, bahkan terus-menerus mengijinkan penambahan produksi dari sumber daya alam yang tak terbarui…
      Kalau alam sudah dirusak, alternatif macam apa yang bisa diajukan? alternatif itu pasti tergantung kondisi alam juga, yang jika rusak, tak mungkin dilakukan..

  4. Hemat saya, justru pemberian opsi2 jenis produksi baru yang mudah, gamblang, cerdas serta tepat guna, ramah lingkungan & kolektif belum juga diberikan oleh kita sendiri sebagai penggerak sosial. Bisa jadi gerakan kita masih sebatas kritik akademik dan bukan pada bentuk2 yang empiris.

    Bicara soal kapitalisme itu melulu bicara tentang pasar/demand konsumsi, jenis kegiatan (dan siapa yang menggerakkannya), bahan baku & alat produksi serta ketenagakerjaan. Yg paling mudah untuk memahami kapitalisme adalah dari faktor demand konsumsi. Selama cara pandang serta perilaku kita terhadap tubuh & jenis kebutuhan tidak berubah maka relasi produksi yg muncul akan selalu sama. Bahwa kita baca koran setiap hari, perlu bensin & kendaraan, pulsa & HP, sampo, sabun, nonton TV, jajanan anak, obat2 kimia, pupuk kimia, dst, semua itu memiliki konsekuensi terhadap alam.

    Faktor kedua adalah jenis kegiatan produksi & siapa yg menggerakkannya atau yg berkepentingan atas laba penjualan hasil produksi. Jika diurai ini akan bicara siapa yg diuntungkan, penguasaan bahan baku (monopoli), upah buruh, teknologi, kebijakan investasi serta kaitannya dengan pasar modal, hingga pengertian tentang “capital flight”.

    Semua itu sudah cukup terpahami, bahwa secara ekonomi politik kita tidak punya kekuasaan lg atas aset alam serta pasar di negri sendiri. Namun bicara tentang watak mendasar dari kapitalisme yang hidup dari konsumerisme dan akumulasi modal, sesungguhnya kita adalah pelaku sekaligus korban.

    Langkah pertama yg bisa kita lakukan adalah memutus ketergantungan kita atas produk2 yg kita konsumsi setiap hari terlepas kita betul2 butuh atau sekedar ingin, terlepas siapa yg memproduksinya. Tidak usah jauh2, mari kita jawab beberapa pertanyaan ini: bisakah kita orang tua mengajak anak2 untuk makan makanan buatan rumah saja? atau bisakah kita melupakan mie instan sekarang juga? bisakah kita kembali ke model telpon kabel saja, bisakah kita tidak baca koran yg isinya tdk begitu bermanfaat, bisakah kita memutus jaringan TV serta internet dan menghidupkan kembali tradisi dialog, bercerita antar tetangga atau bermain dengan alam? mampukah kita mengatakan tidak pada rokok sekarang juga? bisakah kita membuat pupuk sendiri dari kotoran atau sampah RT & pasar?, maukah kita memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan tambang dan mulai menanam jagung, tomat, buah2an, karet dsb? maukah kita hidup sederhana dan melupakan perdagangan bebas? atau kalaupun itu terlampau sulit bisakah kreatifisme itu digalakkan sehingga kita menjadi negara produsen bukan konsumen? Bisakah para aktivis sosial itu menutup mulutnya dan mulai menggerakan tangannya untuk mengolah bahan2 alam yang “renew able” dan berdaya saing tinggi?

    Well, itu semua pertanyaan sulit bukan? Tapi satu saran saya, tidak perlu pikiran besar dan bahkan mengait ngaitkan negara untuk melakukannya, itu bisa dimulai dari diri kita sendiri. Bisa dimulai dengan berhenti merokok, berhenti nonton TV atau berhenti makan mie instan. ????

    • Terima kasih Bung Andre atas pencerahannya, kalau Bung Andre membaca tulisan saya berjudul Go Green, saya mengajak kita semua menjaga lingkungan dengan melakukan apa yang bisa kita lakukan.
      Berkongsi kendaraan untuk menghemat BBM yang berbahan bakar fosil, mengeksploitasi kekayaan energi tak terbarukan, mengurangi penggunaan kertas dan plastik yang bisa menjadi limbah.
      Saya sepakat, mendorong masyarakat produktif dengan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam yang bisa diperbaharui dan ramah lingkungan. Melawan kapitalisme juga menuntut kita untuk lebih inovatif dan kreatif.

    • Makin menarik diskusi kita, saya juga percaya bahwa mengembangkan kreatifitas dan inovasi dengan memberdayakan sumber daya lokal adalah sebuah solusi, mengurangi ketergantungan dengan produk-produk industri besar terutama yang terkait dengan sumber daya alam tak terbarukan adalah hal yang harus bisa kita bersama lakukan. Oleh sebab itu juga, bagi kawan-kawan, bapak-bapak, ibu-ibu, ayo bersama dukung upaya pengembangan kreatifitas dan inovasi. Mereka yang berprofesi jadu guru, mestinya mendukung dan memberi ruang bagi pengembangan kreatifitas anak didiknya.

  5. Malam tadi di TVRI dalam acara Minggu Malam bersama Selamat Rahardjo (aktor, sutradara, budayawan) masalah pembangunan di Papua Tengah Pegunungan, ditampilkan seorang seniman dengan pakai adat Papua, seniman itu ditanya tenttang air pakaian adat yg digunakan.
    Seniman itu tidak menjawab pertanyaan, dia malah mengkritik pejabat Pemda Papua bahwa korupsi tidak hanya di Pusat di Papua pun ada.

    Nenek moyang Papua dulu lebih kreatif dengan memanfaatkan bahan mentah lokal bisa membuat keperluan pakaian, barang seni dan keperluan hidup dan kehidupan sehari-hari, kenapa sekarang sangat tergantung dgn produk luar.
    Seniman tsb. mengajakan agar Pem dan masyarakat lebih kreatif dlm hal ekonomi, sosial, budaya dan hukum.

    Padalah kita di Kal sel pun dulunya seperti itu, tetapi karena di pasar sudah semua ada dan diproduksi secara masal, produk lokal kalah.
    Di Nagara (HSS) masih diproduksi dapur, wadah menanam tambuni dari tanah dll.

    Buat Bung Andre dua jempol.
    Bisakah kita memulai dengan berkelompok kecil untuk memulai tidak menjadi budak konsumtif dan menjadi kelompok produktif/kreatif dgn menggunakan material lokal.

    Salam dan tetap semangat.

  6. Malam tadi di TVRI dalam acara Minggu Malam bersama Selamat Rahardjo (aktor, sutradara, budayawan) masalah pembangunan di Papua Tengah Pegunungan, ditampilkan seorang seniman dengan pakai adat Papua, seniman itu ditanya tenttang air pakaian adat yg digunakan.
    Seniman itu tidak menjawab pertanyaan, dia malah mengkritik pejabat Pemda Papua bahwa korupsi tidak hanya di Pusat di Papua pun ada.

    Nenek moyang Papua dulu lebih kreatif dengan memanfaatkan bahan mentah lokal bisa membuat keperluan pakaian, barang seni dan keperluan hidup dan kehidupan sehari-hari, kenapa sekarang sangat tergantung dgn produk luar.
    Seniman tsb. mengajakan agar Pem dan masyarakat lebih kreatif dlm hal ekonomi, sosial, budaya dan hukum.

    Padalah kita di Kal sel pun dulunya seperti itu, tetapi karena di pasar sudah semua ada dan diproduksi secara masal, produk lokal kalah.
    Di Nagara (HSS) masih diproduksi dapur, wadah menanam tambuni dari tanah dll.

    Buat Bung Andre dua jempol.
    Bisakah kita memulai dengan berkelompok kecil untuk memulai tidak menjadi budak konsumtif dan menjadi kelompok produktif/kreatif dgn menggunakan material lokal.

    Salam dan tetap semangat.

  7. Inilah hasil buruk dari sistem buatan manusia, yakni kapitalisme. Secara garis besar Islam — yang semoga dalam waktu tidak lama lagi akan menggantikan sistem kapitalisme ini — memberikan konsep pengelolaan ekonomi yang jelas yang dibangun di atas 3 prinsip dasar, yaitu 1) konsep kepemilikan (al milkiyah). Ini akan memperjelas tentang siapa boleh memiliki apa, 2) pengelolaan kepemilikan (al tasharruf al milkiyah). Ini akan memberi arahan bagaimana sesuatu yang dimiliki itu dapat dikelola dengan baik dan benar, 3) distribusi (tauzi’ al tsarwah baina al nas). ini aturan bagaimana pola distribusi yang baik sehingga setiap orang bisa dipastikan mendapatkan kebutuhan2nya. Hanya saja sayang pengelolaan seperti ini hanya bisa diterapkan dengan baik jika sistem politik kenegaraannya juga baik. Inilah relevansi perlunya Khilafah. Hanya perlunya ! Karena kewajibannya sudah sangat jelas

  8. Ibda bi nafsika (mulailah dari dirimu sendiri), Sabda Nabi. Langkah pertama sebagai seorang Muslim untuk menangkal faham Kapitalisme adalah memperbaiki hubungan kita dengan Al Islam yang menjadi dasar anutan hidup kita, dengan meningkatkan komitmen (rasa terikat jiwa) kita terhadap al Islam antara lain:
    1. Meningkatkan Iman keyakinan kita atas kebenaran Islam.
    2. Meningkatkan ilmu pengetahuan kita tentang al Islam.
    3. Meningkatkan amal perbuatan kita sesuai dengan ajaran Islam
    3. Meningkatkan partisipasi kita dalam dakwah Islamiyah.
    5. Meningkatkan kesabaran kita dalam ber Islam, yakni : Ketabahan hati kita menanggung segala resiko sebagai konsekwensi kita beriman, berilmu, beramal shaleh dan dakwah Islam.
    Karena ke 5 kosep Ilahiah yaitu : Iman, Ilmu, Amal, Dakwah dan disertai kesabaran adalah konsep Ilahi yang paling paripurna dari segala konsep yang ada dipermukaan bumi ini. Sampai Allah sendiri bersumpah dengan waktu atau demi masa (Wa Ashari), ini mencakup masa dahulu, masa sekarang maupun masa yang akan datang, sehingga kita tidak termasuk orang-orang merugi dan menjadi umat Islam sebagai pioner dalam segala bidang atau aktifitas kehidupan manusia sehingga disebut Al Qur’an sebagai ” Khairah ummat ” (Sebaik-baik umat).
    Dengan demikian Islam adalah agama ” Rahmatan lil ‘alamin ” akan terwujud, yakni agama yang memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia bahkan bagi seluruh makhluk di jagat raya ini, karena syariat Islam adalah perwujudan dari rahmat Nya. TK . Mahadi Supian – Simpang 4 Mr. Pudak


Tinggalkan komentar

Kategori